Melangkah Bersama di Usia Kelima
Oleh : Dionisius Agus Puguh Santosa,
SE
Sebagian orang mungkin berpendapat bahwa dunia jurnalistik (atau kegiatan jurnalisme) pada umumnya adalah suatu hal yang abstrak atau sulit untuk dipahami. Sebuah pepatah dalam bahasa Latin berujar, initium semper dificile est (segala sesuatu pada awalnya sulit). Memang tak dapat dipungkiri, melibatkan anak-anak dalam dunia jurnalistik (yang notabene masih belia) tidaklah mudah.
Saat kita pergi ke toko buku, mungkin kita pernah melihat ada begitu banyak
judul buku yang terkait dengan dunia jurnalistik. Beberapa buku tampak begitu
tebal, dan ketika kita mencoba membacanya, barangkali kita akan menemukan
banyak istilah dan penjelasan seputar dunia jusnalistik yang sulit untuk
dimengerti bahkan terdengar begitu asing di telinga. Sedangkan beberapa buku
lainnya mempunyai penampilan tipis dengan isi yang sangat ringan, yang
lagi-lagi menimbulkan pertanyaan, “Apakah
dengan mempelajari buku tersebut, pemahaman kita tentang dunia jurnalistik akan
terpenuhi?” Bisa jadi kita bertanya demikian karena kita menilai bahwa isi
buku itu kurang memadai atau kurang sesuai dengan harapan kita.
Kisah di atas adalah pengalaman pribadi saya beberapa tahun silam. Awalnya
saya diminta oleh Ibu Endah Wulandari, M.Pd (Kepala Sekolah SMP Sanjaya Banjarbaru pada waktu
itu) untuk mengajar dan membimbing kegiatan jurnalistik di SMP Sanjaya
Banjarbaru. Sebagai calon guru pembimbing jurnalistik di sekolah menengah pertama,
saya merasakan betapa tidak mudahnya menemukan buku panduan yang cocok untuk
anak-anak usia belasan tahun.
Beberapa buku pada sampul depannya memang berlabel “untuk anak-anak”, akan
tetapi setelah saya baca lebih lanjut, apa yang dipaparkan tidak serta merta mudah
disampaikan kembali kepada anak-anak yang saya dampingi. Ternyata perlu banyak
penyesuaian di sana-sini, perlu banyak improvisasi di setiap kesempatan, juga
banyak permenungan yang menyadarkan saya dari hari ke hari, demi menjawab sebuah pertanyaan: “Apakah ilmu jurnalistik yang saya ajarkan
menjadi sesuatu yang menyenangkan atau membosankan bagi anak-anak?
Atau justru menjadi ilmu yang abstrak dan sulit dipahami oleh dunia anak-anak
yang mempunyai kompleksitas unik dan kekhasan warna di dalamnya?” Pertanyaan yang senada dengan pernyataan di awal tulisan ini.
Kelas jurnalistik yang kemudian saya beri nama “Sanjaya Journalist Class”
memang cukup akrab di telinga siswa-siswi SMP Sanjaya Banjarbaru lima tahun
terakhir ini. Kelas ini memulai aktivitas perdananya
pada tanggal 1 Agustus 2009 dengan melibatkan 16 orang siswa. Ketika itu kelas ini dibuka untuk siswa kelas VII dan
VIII yang berminat dalam bidang jurnalistik (kewartawanan/menulis berita).
Dalam kegiatannya, anak-anak yang berminat dalam dunia jurnalistik belajar
bersama untuk menjadi seorang calon jurnalis; dengan harapan di masa mendatang
mereka ini akan menjadi penulis-penulis produktif pada jamannya (dapat
menghasilkan karya secara terus-menerus).
Kegiatan kelas jurnalistik yang saya dampingi bukan hanya sebatas menulis
saja, mereka juga belajar teknik fotografi sederhana (minimal bisa memotret
dengan baik), lalu juga belajar melakukan wawancara dengan tokoh atau
narasumber berita. Memang, selama lima tahun terakhir belum banyak prestasi
yang bisa dicapai. Karya rutin mereka barulah sebatas menghasilkan “mading”
(majalah dinding) sekolah yang hingga kini telah terbit dalam beberapa edisi.
Saya merasa seperti bermimpi ketika menyaksikan anak-anak itu dapat menulis
dengan baik, seolah-olah mereka bukan lagi anak-anak SMP, melainkan lebih mirip
dengan anak-anak SMA, yang tulisannya terasa luas berkisah dan detil dalam
pemaparan alurnya. “Luar biasa!” seru saya membatin.
Sebagai seorang penulis, saya sendiri mempunyai pengalaman yang cukup
banyak dan beraneka warna. Untuk membuat selembar tulisan saja, saya dapat
menghabiskan waktu seharian penuh, bahkan ada tulisan yang baru terselesaikan
setelah menghabiskan waktu selama beberapa hari bahkan beberapa bulan untuk
sebuah buku.
Semoga perasaan haru dan sukacita yang hadir dalam kelas pengembangan diri
“Sanjaya Journalist Class” dapat terus berlangsung dan saya alami bersama
dengan anak didik saya di tahun-tahun mendatang. Sebuah kelas yang bisa
dikatakan kecil namun di dalamnya tersimpan sejuta harapan, harapan tentang
lahirnya penulis-penulis handal Indonesia di masa depan.
Penulis adalah Guru Pembimbing “Sanjaya Journalist Class”
SMP Sanjaya Banjarbaru – Kalimantan
Selatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar